1. Definisi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah kumpulan gejala akibat penekanan pada nervus medianus ketika melalui terowongan carpal (Carpal Tunnel) di pergelangan tangan. Manifestasi dari sindroma ini adalah rasa nyeri dan kesemutan (paraesthesia) (Sidharta, 1996).
Menurut Samuel, 1999 CTS merupakan neuropati tekanan/kompresi terhadap nervus medianus di dalam terowongan carpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah flexor retinaculum. Terowongan carpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh flexor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus.
2. Anatomi Dan Biomekanika Wrist
Wrist Joint disusun oleh 3 tulang : tulang radius, tulang ulna dan tulang carpal. Dimana terowongan carpal terletak dipergelangan tangan yang kerangkanya di bentuk oleh 8 tulang carpal yang tersusun atas 2 deretan. Deretan proximal terdiri dari (lateral dan medial : naviculare, lunatum, triquertum, dan pisiformis). Deretan distal (trapezium, trapezoideum, capitatum dan hamatum). Tulang-tulang carpal tangan susunannya membusur dengan bagian konkaf menghadap ke arah telapak tangan. Ruangan ini tertutup oleh ligamentum karpi transversum sehingga terbentuk suatu terusan yang sempit yang disebut terowongan carpal.
Terowongan carpal ini mengandung banyak struktur, yaitu :
- Empat tendo dari m. flexor digitorum superfisialis
- Empat dari m. flexor digitorum profundus
- Tendo dari m. flexor pollicis longus
- N. medianus (De Wolf, 1994)
Nervus medianus, terbentuk dari fasikulus lateralis asal radiks C5, C6, C7 dan fasikulus medialis C8 dan T1. Saraf medianus
di atas siku tidak mempunyai cabang-cabang artikuler menuju sendi siku cabang muskuler mempersarafi pollicis longus, pronator quadratus. Setelah memberi cabang pada otot-otot lengan bawah untuk berbagai gerakan lengan dan jari-jari tangan di bawah ligamentum carpi transversal syaraf medianus bercabang dua, yang lateral (motorik) mempersyarafi otot abductor pollicis brevis, flexor pollicis brevis, oponen pollicis dan otot lumbricalles kesatu dan kedua, sedang cabang medial (sensorik) mempersyarafi bagian volar jari-jari 1, 2, 3 dan ½ jari ke 4 (sisi lateral) serta bagian tengah sampai sisi radial juga dipersyarafi oleh n. medianus.
3. Etilogi
Pada dasarnya s
etiap keadaan yang menyebabkan tekanan/kompresi pada nervus medianus dalam lorong carpal dapat merupakan etiologi CTS. CTS disebabkan oleh : (1) Idiopatik, (2) Penebalan jaringan ikat seperti Rematik (RA, OA), (3) Gangguan metabolisme, (4) Trauma, dapat bersifat kronik pada pergelangan tangan karena over use, (5) Heriditer berupa sempitnya terowongan carpal. Karakteristik dari CTS yaitu adanya peningkatan rasa baal pada jari-jari waktu bangun pagi hari disertai kesemutan/rasa terbakar, gangguan motorik jari-jari, nyeri pada sendi-sendi interphalangeal serta hipotropi otot-otot tenar pada kondisi lebih lanjut (Sidharta, 1996).
4. Perubahan Patologi
Kontraksi otot secara berulang-ulang atau terus-menerus dan statik akan menimbulkan spasme, sehingga sirkulasi darah menjadi tidak lancar. Hal ini akan menyebabkan penumpukan Asam laktat dan zat-zat kimia seperti bradikinin dan histamin
e. Dengan penumpukan zat-zat tersebut akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris atau saraf nyeri (nosiseptor) dan akan dihantarkan ke medulla spinalis selanjutnya oleh saraf acendent disampaikan ke otak dan akan diinterprestasikan yaitu rasa nyeri. Dengan adanya rasa nyeri tadi bisa mengakibatkan spasme otot yang merupakan perlindungan dari adanya nyeri, dan penderita akan membatasi pergerakkannya terutama yang menimbulkan rasa nyeri. Selanjutnya dalam jangka waktu lama dapat timbul kelemahan
otot yang akhirnya menimbulkan gangguan fungsi dan gerak yang berhubungan dengan fungsi tangan kiri.
CTS terjadi bila saraf medianus mengalami kompresi dalam struktur anatomis terowongan karpal. Kompresi dapat disebabkan oleh meningkatnya volume dalam terowongan karpal, pembesaran saraf medianus, atau berkurangnya area cross-sectional dalam terowongan karpal. Dari ketiga penyebab ini, yang menjadi penyebab terbanyak adalah meningkatnya volume terowongan karpal, namun apa yang menjadi penyebab peningkatan volume ini masih belum jelas hingga saat ini. Diduga salah satu penyebab adalah tenosinovitis akibat trauma berulang
(Phallen, 1951; Nissen, 195; Hybinette, 1975). Gerakan flexi-extensi berulang dan terus menerus pada pergelangan tangan dan jari-jari akan meningkatkan tekanan pada tendon yang mengakibatkan terjadinya tenosinovitis dan selanjutnya menyebabkan kompresi pada saraf medianus. Fuchs, Nathan, dan Mayers (1991), menemukan adanya proses inflamasi pada 10 % pasien, sedangkan pada penelitian lain ditemukan adanya oedema pada 7 % pasien (Cailliet, 1994).
Kompresi ringan pada saraf tepi akan menurunkan aliran darah epineural. Transport aksonal akan terganggu, akibat kompresi aksonal tekanan dalam endoneural akan meningkatkan dan menyebabkan parestesia. Oleh Caillet (1994), kelainan saraf ini dikategorikan menjadi dua stadium, yaitu :
a. Stadium I
Distensi kapiler intrafasikuler akan meningkatkan tekanan intrafasikuler sehingga menimbulkan konstriksi kapiler. Selanjutnya terjadi gangguan nutrisi dan hipereksitabilitas serabut saraf. Jika tekanan terus menerus hingga mengganggu sirkulasi vena, akan terjadi oedema sehingga terjadi gangguan saraf lebih lanjut.
b. Stadium II
Terjadi kompresi kapiler sehingga menyebabkan anoksia dan berakibat kerusakan endotel kapiler. Protein masuk ke dalam jaringan dan menyebabkan terjadinya oedem lebih lanjut. Protein tidak dapat keluar melalui perineurium sehingga terjadi akumulasi cairan dalam endoneurial yang akan menghambat metabolisme dan nutrisi aksonal. Proliferasi fibroblas terjadi akibat iskemia ini dan terbentuk jaringan parut yang akan menyebabkan kontriksi jaringan lunak sekitarnya. Pada stadium akhir ini, lesi saraf dapat menjadi ireversibel dan menyebabkan gannguan sensorik dan motorik permanen.
5. Tanda Dan Gejala Klinis
Umumnya keluhan timbul berangsur-angsur dan yang spesifik adalah :
a. Rasa nyeri di tangan yang biasanya timbul di malam atau pagi hari dan penderita sering terbangun karena nyeri ini. Penderita sering berusaha sendiri mengatasi keluhannya dengan meninggikan letak tangannya, dengan menggerak-gerakkan tangan atau mengurut, ternyata rasa nyeri dapat dikurangi. Keluhan juga berkurang bila tangan/pergelangan lebih banyak istirahat dan sebaliknya.
b. Rasa kebas, semutan, kurang berasa, tingling (seperti kena strom) biasanya jari 1, 2, 3 dan ½ jari ke 4 tapi tak pernah keluhan pada jari 5.
c. Kadang-kadang rasa nyeri dapat terasa sampai lengan atas dan leher, tapi rasa kebas, semutan hanya terbatas distal pergelangan tangan saja.
d. Jari-jari, tangan dan pergelangan bengkak dan kaku terutama pagi hari dan menghilang setelah mengerjakan sesuatu.
e. Gerakan jari kurang terampil seperti menyulam/memungut benda kecil.
f. Ada juga penderita yang datang dengan keluhan otot telapak tangannya mengecil dan makin lama makin ciut.
Tanda-tanda yang dapat ditemukan secara umum (Sidharta, 1996) :
a. Test tinnel positif
b. Nyeri di sendi-sendi interphalangeal
c. Kelemahan otot-otot yang disyarafi nervus medianus (tahap lanjut).
d. Hipotropi otot-otot thenar merupakan manifestasi lebih lanjut
6. Klasifikasi CTS
Menurut Kazt (1990), kriteria diagnostik dibuat berdasarkan pengalaman klinis para paneliti, banyak gejala pasien ditemukan pada perbatasan dari kelas klasifikasi yang satu dengan yang lainnya.
a. Derajad 0 : Asimtomatik
1) Tidak ada gejala dan tanda CTS
2) Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik
mungkin ditemukan kelainan pada sekitar 20 % populasi
3) Tidak memerlukan terapi
b. Derajat 1 : Simtomatik Intermiten
1) Parastesia tangan intermiten
2) Tidak ada defisit neurologis
3) Salah satu tes provokasi mungkin positif
4) Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin tidak normal
5) Terapi konservatif
c. Derajad 2 : Simtomatik Persisten
1) Defisit neurologis sesuai dengan distribusi saraf medianus
2) Tes provokasi positif
3) Pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik tidak normal
4) Terapi konservatif atau operatif
d. Derajad 3 : Berat
1) Atrofi otot thenar
2) Pemeriksaan elektromiografis: fibrilasi atau neuropati unit motorik
3) Terapi operatif
Komplikasi yang mungkin timbul pada Carpal Tunnel Sindroma (CTS) oleh karena kompresi antara lain : (1). Athrofi otot-otot thenar, (2). Gangguan sensorik yang mengenai bagian radial telapak tangan serta sisi palmar dari tiga jari tangan yang pertama, (3). Deformitas “ape hand” (ibu jari sebidang dengan tangan dan athropi otot-otot thenar ), tidak mampu menjauhkan atau memflexikan ibu jari/melakukan abduksi dalam bidangnya sendiri, gengggaman tangan melemah, terutama ibu jari dan telunjuk, dan jari-jari ini cenderung mengadakan hyperextensi dan ibu jari abduksi, tidak mampu memfleksikan phalank distal ibu jari dan jari telunjuk.
8. Diagnosa
Diagnosa medis merupakan diagnosa yang diberikan dokter. Dalam pemeriksaan dijumpai adanya keluhan nyeri gerak daerah medianus pergelangan tangan flexi, test phalen dan test tinnel. Seluruh pemeriksaan diatas dilakukan pada kedua tangan, sehingga dalam kasus ini diagnosa medis sebagai Carpal Tunnel Syindrome.
Diagnosa STK ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala di atas juga didukung oleh beberapa pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa STK adalah :
a) Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa STK. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit Raynaud.
b) Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar.
c) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat dinamometer. Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari 1 dipertemukan dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis atau menyulam.
d) Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti STK, maka tes ini menyokong diagnosa STK.
e) Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa STK.
f) Torniquet test. Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa.
g) Tinel's sign. Tes ini mendukung diagnosa hila timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
h) Pressure test. Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa.
i) Luthy's sign (bottle's sign). Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnosa.
j) Pemeriksaan sensibilitas. Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.
k) Pemeriksaan fungsi otonom. Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa STK.
9. Diagnosa Banding
Sebagai diagnosis banding pada syndrome ini adalah kondisi-kondisi seperti Cervical Spondylosis, ditandai adanya : (a) Kerusakan radiks multiple, kadang asimetris, mengenai anggota gerak atas disertai atropi otot dan hiporeflexi pada daerah persyarafan radiks terkait, (b) Penekanan medulla spinalis daerah cervical, terlihat hiper-reflexi anggota gerak bawah, reflek patologis dan selanjutnya kelemahan anggota gerak bawah. Perlu diingat bahwa gejala gangguan sensorik pada tangan disertai spastisitas anggota gerak bawah terjadi pada penderita diatas 50 tahun dapat disebabkan oleh spondilasis cervicalis dengan mielopati, sempat dapat dibuktikan bahwa bukan karena itu (periksa kadar vitamib B12). Gejala serupa dapat juga disebabkan oleh tumor pada foramen magnum atau kelainan fossa posterior yang dikenal sebagai malformasi chiari terutama pada penderita usia muda.
Syndrome “ Thorachic outlet” ini merupakan gejala dan tanda yang terjadi akibat penekanan arteri subclavia dan plexus brakhialis pada pintu atas rongga dada antara costa pertama dengan klavikula. Sindroma ini terdiri dari rasa nyeri dan paresthesia pada leher, bahu, lengan dan tangan ( C8-T1), kelemahan tangan, perubahan warna kulit tangan yaitu jari-jari menjadi pucat, dan pada penggunaan anggota gerak atas gejala- gejala tersebut makin jelas.
10. Prognosis
Mayoritas para penderita CTS mengeluh tentang nyeri disendi-sendi interphalangeal. Hypertrophy otot-otot thenar merupakan manifestasi lanjut dari CTS. Sesekali fenomena Reynold terdapat pada penderita CTS. Pada kasus CTS ringan dengan terapi konservatif umumnya prognosa baik, secara umum prognosa post operasi juga baik (18 bulan). Adapun komplikasi yang timbul setelah operasi dijumpai adanya kelemahan dan hilangnya sensibilitas yang persisten di daerah disribusi nervus medianus. Komplikasi yang paling berat adalah reflex sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia dan gangguan tropik. Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif cukup baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.
11. Penatalasanaan Fisioterapi
Pemeriksaan subyektif meliputi keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang, onset terasa, riwayat penyakit dahulu seperti trauma pada daerah lengan bawah hingga tangan, faktor pencetus, lokasi nyeri setempat pada siku dan tangan atau mungkin terdapat keluhan pada daerah leher, interpretasi sifat dan kualitas nyeri selama 24 jam, aktifitas fisik yang dapat memperberat atau memperingan nyeri, riwayat perjalanan nyeri yang menetap terus – menerus atau kumat – kumatan, apakah mengganggu aktifitas fungsional keseharian, sosial dan pekerjaan.
Pemeriksaan obyektif meliputi inspeksi postur leher, atropi otot – otot yang diinnervasi saraf medianus, tropic change, ekspresi wajah saat gerakan dengan menggunakan tangan kanan seperti : menggenggam atau menjumput.
Pemeriksaan neurologis untuk mengidentifikasi defisit sensoris dan motoris meliputi : reflek fisiologis dan patologis.
Pemeriksaan khusus meliputi :
1. Derajat nyeri dengan Visual Analogue Scale (VAS)
Pasien diminta menunjukkan derajat nyeri pada garis sepanjang 10 cm, dimana titik ujung 0 menunjukkan tidak nyeri dan titik ujung 100 menunjukkan nyeri tak tertahankan, jarak antara titik ujung 0 dengan titik yang ditunjuk pasien merupakan gambaran derajat nyeri yang dirasakan pasien.
2. Tes Traksi dan Distraksi Cervical
Dilakukan tes traksi dan distraksi/kompresi pada cervical selama 5 detik pada posisi rotasi, lateral fleksi dan ekstensi.
3. Tes Phalen`s
Tangan pasien pada posisi palmar fleksi full ROM dipertahankan selama kira-kira 30 detik. Jika muncul keluhan nyeri dalam waktu tersebut mengindikasikan bahwa hasil tes positif.
4. Tes Prayer`s
Tangan pasien pada posisi dorsi fleksi full ROM dipertahankan selama kira – kira 30 detik. Jika muncul keluhan nyeri dalam waktu tersebut mengindikasikan bahwa hasil tes positif.
5. Tes Tinel
Tes ini mendukung diagnosa jika timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada carpal tunnel dengan posisi tangan sedikit dorsi fleksi. Jika muncul keluhan nyeri yang menjalar sepanjang distribusi saraf medianus mengindikasikan bahwa hasil tes positif.
6. Median Nerve Test (ULTT 1)
Depresi bahu dengan fleksi siku hingga 90°, abduksi bahu dengan fleksi siku hingga 90°, eksorotasi bahu, siku dan jari ekstensi dengan lengan bawah supinasi dan siku ekstensi. Setiap gerakan dilakukan sampai titik uncomfortable melalui feedback dari pasien (Ekstrom dan Holden, 2002).
7. Radial Nerve Test (ULTT 2)
Depresi bahu dengan siku difleksikan hingga 90° diikuti pronasi lengan bawah, ekstensi siku, fleksi siku dan jari lalu abduksi bahu.
a) Problematik Fisioterapi
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan tersebut maka problematik fisioterapinya adalah :
1. Impairment
Nyeri, spasme otot, penurunan kekuatan otot, tropic change.
2. Functional Limitation
Keterbatasan fungsional berupa gangguan aktifitas saat berkendara sepeda motor, memasak, mencuci, menyapu dan gangguan menggenggam.
3. Disability / Participation Restriction
Merupakan ketidakmampuan pasien dalam melakukan aktifitas yang berhubungan dengan pekerjaan, hobi dan interaksi sosial. Pada kasus carpal tunnel syndrome tidak mengganggu aktifitas bekerja, hobi dan interaksi sosialnya.
b) Intervensi Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus carpal tunnel syndrome untuk mengurangi nyeri sangat beragam, tetapi disini penulis hanya menggunakan Microwave diathermi, ultrasonik, dan mobilisasi saraf tepi.
1. Microwave Diathermi (MWD)
Seperti layaknya shortwave diathermy, pada microwave diathermy masih terjadi perdebatan mengenai efek terapeutik secara spesifik, tidak ada bukti jelas yang mendukung selain efek panas/termal.
McMeeken dan Bell tahun 1990 mengaplikasikan MWD pada dosis klinis terjadi peningkatan temperatur kulit sebesar 10° dan aliran darah dalam dan superfisial lengan bawah dan tangan pada subyek normal, respon tersebut berlangsung hingga 20 menit setelah aplikasi (Low, 2000).
Pada pemberian MWD terjadi peningkatan temperatur intramuskular diikuti peningkatan aliran darah sebesar 85% pada anjing setelah paparan MWD selama 15 menit, yang hanya terjadi setelah mencapai ambang rangsang temperatur kritis (Low, 2000).
2. Ultrasonik
Terjadinya destruksi sel pada penggunaan pulsed-ultrasound 1 MHz dengan aplikasi underwater dosis equivalent intensitas 0,08 W/cm², sedang Fahnestock et al, (1989) dikutip Baker et al (2001) melaporkan terjadinya sel lisis atau permeabilisasi sel setelah paparan pada neuroblastoma dengan frekuensi 1 MHz kontinyus ultrasonik spatial peak dose 1 W/cm². Kerusakan sel terjadi in vitro dikarenakan kavitasi, yang tidak termasuk dalam faktor intensitas terapeutik (Harvey et al, 1987 yang dikutip Baker et al, 2001).
Efek biofisika ultrasonik terbagi menjadi efek termal dan non-termal. Efek termal yang menghasilkan panas dapat meningkatkan aktifitas metabolik, aliran darah dan efek analgesik pada saraf, serta diklaim juga meningkatkan ekstensibilitas jaringan kolagen (Baker et al, 2001). Sedang efek non-termal yaitu terjadinya kavitasi.
Tidak ada bukti langsung ultrasonik bermanfaat terhadap permeabilitas membran, tetapi adanya perubahan sintesis protein, degranulasi mast sel, produksi growth factor, uptake kalsium dan mobilitas fibroblast (ter Haar, 1999 dikutip Baker et al, 2001). Perubahan permeabilitas membran sel darah merah pada tempat homogen yang didasarkan pada deteksi peningkatan potasium ekstraseluler setelah paparan ultrasonik kontinyus 1 MHz intensitas 0,5 – 3 W/cm², perubahan tersebut juga dapat menyebabkan mikrotrauma (Lota dan Darling, 1955 dikutip Baker et al, 2001). Tidak hanya trauma mekanik yang menyebabkan mast sel degranulasi, tetapi ultrasonik juga meningkatkan permeabilitas membran sel pasif, kerusakan dasar membran merangsang angiogenesis (Hanahan, 1996 dikutip Baker et al 2001).
Penelitian pada otot manusia menunjukkan bahwa setelah 10 menit aplikasi ultrasonik kontinyus 1 MHz intensitas 1,5 W/cm² dengan 20 cm² aplikasi tranduser pada daerah kulit seluas 80 cm², temperatur gastrocnemius pada kedalaman 3 cm meningkat 5°C (Draper et al, 1993 dikutip Baker et al, 2001). Pada penelitian in vivo hingga 1997, hanya satu penelitian tentang efek pemanasan ultrasonik pada ekstensibilitas ligamen. Penelitian yang dilakukan pada ligamen collateral lateral dan medial dengan dosis klinis 1,5 W/cm², 1 MHz selama 8 menit, terjadi peningkatan ekstensibilitas tetapi peningkatannya tidak signifikan (Reed, 1997 dikutip Baker et al, 2001).
Penelitian yang terbaru membandingkan antara ultrasonik dengan laser terapi pada penderita carpal tunnel syndrome, dimana ultrasonik lebih efektif dalam perbaikan tingkat nyeri yang sebanding dengan pemberian splinting atau suntikan kortikosteroid tetapi tidak termasuk komplikasi atau keterbatasannya (Burk et al, 1994 dikutip Bakhtiary dan Rashidy, 2004). Ultrasonik mungkin dapat mempercepat proses penyembuhan pada kerusakan jaringan, dimana mekanisme terjadinya terbukti dalam penelitian yang dilakukan Bakhtiary dan Rashidy (2004) yang membandingkan antara ultrasonik dan laser terapi dimana ultrasonik lebih signifikan dalam mengurangi nyeri, meningkatkan kekuatan menggenggam, merubah parameter elektrofisiologi saraf kearah normal dibandingkan dengan laser terapi pada pasien dengan carpal tunnel syndrome ringan hingga sedang.
US digunakan untuk terapi dalam penelitian ini adalah frekuensi 1 MHz, diberikan secara continuous, dengan intensitas 0,5 watt/cm2 , diberikan dalam waktu 6 menit.. Adapun pengaruh gelombang US yang diharapkan terhadap proses peradangan dan perbaikan jaringan seperti pada sindroma lorong karpal adalah : (1) untuk dapat mempercepat proses inflamasi normal dengan meningkatkan produksi dan pelepasan wound-healing factors, (2) dapat meningkatkan proses sintesa collagen dan meningkatkan permeabilitas membran sel, hal tersebut akan menyebabkan lebih banyak collagen yang terbentuk dan juga meningkatkan tensile strength pada ligamen, (3) dapat memperbaiki extensibilitas jaringan collagen yang telah terbentuk setelah proses inflamasi, (4) dapat terjadi capillary hyperaemia dengan pelepasan histamine-like substances yang akan membantu pengangkutan dan mengurangi pengaruh algogenic chemicals yang dihasilkan selama proses inflamasi, sehingga dapat mengurangi nyeri. (Wadsworth, 1981 )
3. Median Nerve Mobilisation (ULTT 1)
Tidak ada bukti penelitian bahwa saraf dalam sekali mobilisasi dapat bergerak kembali dari keterbatasannya (Ekstrom dan Holden, 2002). Penelitian pada 15 cadaver menunjukkan bahwa saraf medianus dan ulnaris bergerak longitudinal pada siku rata – rata 7,3 mm dan 9,8 mm, masing – masing dilakukan full fleksi – ekstensi siku. Saraf medianus terjadi longitudinal gliding pada wrist dengan full arc wrist fleksi dan ekstensi dengan nilai 15,5 mm dan saraf ulnaris 14,8 mm (Wilgis dan Murphy, 1986 dikutip Ekstrom dan Holden, 2002).
Mobilisasi saraf medianus menggunakan 5 gerakan sekuensi, yaitu : depresi shoulder girdle dengan fleksi siku hingga 90°, abduksi bahu dengan fleksi siku hingga 90°, eksorotasi bahu, pergelangan tangan dan jari ekstensi dengan lengan bawah supinasi dan siku ekstensi. Setiap gerakan dilakukan sampai titik uncomfortable melalui feedback dari pasien dan kemudian release hanya pada titik dimana tekanan uncomfortable terasa (Ekstrom dan Holden, 2002)
Mobilisasi dilakukan secara gentle, ekstensi siku selama 2 detik hingga pasien merasakan tekanan tetapi tidak nyeri, kemudian fleksi siku hingga titik dimana pasien tidak merasakan tekanan, ulangi sebanyak 6 – 7 gerakan mobilisasi (Ekstrom dan Holden, 2002).